A KISS TO REMEMBER

By: Tanto Didimus / IG: tanto_zhanpio
Univ Sanata Dharma, English Letters Deparment

(Dimuat di Majalah Aquinas Yogyakarta Edisi III)

Aku suka angka Sembilan (9). Bukan Cuma aku tentunya, begitu banyak orang yang pastinya juga menyukai bilangan terakhir dalam jajaran angka tersebut. Sembilan merupakan hasil dari penjumlahan 5 dan 4, atau juga 6 dan 3. Ia juga bisa didapatkan dengan mengalikan 3 dengan 3, pun juga mengurani 1 dari 10 dan berjuta cara lain yang bisa dilakukan untuk mendapaktan angka 9 ini. Praktisnya hal itulah yang ingin aku bagikan bersamamu kali ini kawan. Bukan soal angka sembilannya tentunya, tapi lebih kepada berbagai cara yang dapat ditempuh untuk bisa sampai pada angka tersebut. Hidup itu satu, pemaknaanya saja yang kompleks. Sembilan itu hanya sebuah angka, namun banyak cara menujunya. Banyak cara ditempuh orang untuk terus hidup dalam bumi yang keras ini, namun tujuannya tetap satu menuju kehidupan yang bahagia. Aku akan berbagi caraku menuju Sembilan ini, sesuatu yang mengantarkanku pada kebahagiaanku.

Kebahagiaan kali ini bukan sekadar soal cinta. Yah,.. dari sejuta kisah klise di dunia ini aku tak berbakat untuk hal yang satu ini. Oia para sahabat, namaku Chandra. Aku seorang mahasiswa, aktivis, penggiat politik, pencinta (?), anak sulung dari dari tiga bersaudara yang semuanya lelaki. Yogyakarta adalah tempat kuberdiam sekarang. Aku berasal dari salah satu daerah permai jauh di Timur Indonesia sana. Di sini aku kuliah. Tadi aku memulai kalau aku tak terlalu berpengalaman tentang cinta bukan? Bukannya tak pernah, tapi tak jarang aku gagal atau telambat atau tak peka,.. yah semuanya itu masuk dalam golongan gagal cinta. Aku pernah mengalami itu pada masa akhir SMA-ku dan berakhir karena aku harus pergi melanjutkan studi, dan juga yang kedua akhir tahun kemarin, yah,.. walau hanya sekejap tapi masuk dalam catatan sejarah hidupku. Nampaknya aku harus fokus pada hal lain dulu yang bisa aku kuasai selain cinta.

Terlepas dari semua hal itu, cerita ini dimulai dengan jiwa yang idealis dari seorang anak muda yang ingin melakukan perubahan. Tapi judulnya A Kiss bukan? Tak apa liat saja kelanjutan ceritanya. Cerita tentang idealisme adalah makanan anak muda sebenarnya, Tan Malaka pernah bilang kalau idealisme adalah senjata terbesar kaum muda untuk menggebrak perubahan dan terus bertahan dalam peradaban. Aku salah satu anak muda yang beridealisme tinggi, menempatkan harga diri di atas segalanya. Bukannya sombong, aku seringkali menulis di surat-surat kabar nasional pun lokal. Bercerita tentang kepedulian sosial dan ketidakadilan adalah makananku sehari hari. Sebenarnya aku tak tahan dengan Indonesia ini. Korupsi, sarana publik, pelayanan publik, praktik calo, sampah, kebakaran, perdagangan manusia, banjir, sampai agama, toleransi, harga daging sapi, ngabuburit pun tak terhitung berjuta masalah yang sepertinya tak akan pernah bisa selesai dibebankan pada Garuda Katulistiwa ini. Aku saja memilih secara acak topik yang ingin aku kritik pada Indonesia ini, dalam satu toples besar d kamarku, aku tempatkan semua masalah itu. Dengan semua itu, sepertinya susah untuk bisa bangga dengan Pertiwiku yang lirih ini. Bobroknya kebahagian pertiwiku tercinta, itu tulisan d toples masalah yang ingin kukritik setiap hari itu.

Di Indonesia negeri kita tercinta ini, pendidikan diatur secara gratis dan sistem wajib belajar, namun praktisnya sarana prasarananya dipungut biaya yang lumayan membebankan. Huft,.. kalau boleh aku analogikan yah.. seperti kalau tidur itu gratis tapi tutup mata itu harus bayar. Itulah lotre yang keuar dari toplesku pada hari ini, pendidikan. Ketidakbahagiaan Indonesia tentang pendidikan. Pendidikan itu efektif hanya di Jawa saja, kata orang begitu. Di pelosok juga siapa yang mau mengajar di sana? Jauh, terpencil, bergaji kecil kalau ada pun, sarananya sangat terbatas dan beresiko pula. Sangat berbeda dengan pendidikan di daerah yang mapan. Pengajar diberi insentif, tunjangan, transportasi, diberi arahan yang sangat jelas, peraturannya sudah tertata rapi dan sangat kelihatan berkualitas dengan sejuta dukungan, karena sejatinya pendidikan memang sangat penting. Pendidikan adalah investasi manusia-manusia Indonesia di masa yang akan datang. Yang menjadi pertanyaan sekarang, manusia-manusia Indonesia di pelosok sana, penting kan? Mereka juga bagian dari investasi itu kan? Yah,.. Indonesia sekali lagi meninggalkan kenyataan tidak bahagia yang harus aku tulis. Itu tulisannku hari ini. Bobroknya pendidikan pertiwi tercinta.

Selesai dengan semua urusan Indonesia dan pendidikan, aku beralih ke kasurku. Membujuk mata untuk tidur dan terlelap di dalam kegelapan kamarku. Ku ambil Samsung Galaxy J3-ku, mulai membuka-buka sosial mediaku. Kubuka beranda bbm, melihat status-status tak penting seperti cewek-cewek yang mengodekan “lapar,.. pengen roti bakar,..” berharap cowoknya secepatnya merespon dan menghantarnya. Ada pula status aneh “maakfan, kamu terlalu baik untuk aku,..” hahahha, lucu kali status seperti ini. Trus pacarnya harus bilang ‘oke sayang, mulai sekarang aku akan lebih jahat ke kamu.’ Dasar,.. banyak trik gila di zaman ini. Kututup bbm-ku kubuka facebook-ku. Di berandanya masih lumayan bagus, banyak berita tetang Prancis yang menjuarai klasemen grup A piala eropa. Selanjutnya, berita tentang pedangdut yang dipenjara, foto-foto mantan masih terlintas beberapa kali di berandaku selain berjuta jenis foto selfie  tak jelas yang entah apa bedanya. Kalo aku perhatikan secara saksama sih hanya beda arah bibirnya atau tatapan matanya, atau bentuk poninya yang di-upload sampai sepuluh sebelas kali, apa gunanya coba. Dasar anak zaman sekarang, seperti haus apresiasi dari masyarakatnya (walau kadang aku juga demikian, hehhehhe). Yang terakhir, aku membuka akun instagramku. Mataku sudah mulai berair, tanda sedikit lagi aku tertidur. Hal pertama yang nongol di IG-ku ialah video salah satu mantanku @paradewi_sk. Video dia sedang dalam program voluntir ke salah satu kawasan anak rimba. Terlihat dia sangat bersemangat, walau dengan keterbatasan sarana tetap dengan senyumnya yang khas memberi pencerah tentang bahasa inggris, studi yang ia dalami. Aku melihat video itu, ada sesuatu yang berbeda (selain hatiku berdetak aneh melihat senyum Paradewi), ternyata itu adalah video promosi program voluntirnya, ada alamat dan cara bergabungnya. Huft,.. aku screenshot video itu dan alamantnya dan kuletakan Galaxy J3-ku. Terbayang lagi kenangan bersamanya tahun kemarin, lebih dari itu aku berpikir soal pendidikan yang ia bagikan pada komunitas anak rimba itu. Memesona bukan hai para sahabat? Aku pun jatuh dalam tidurku.

Pagi menciumku sangat hangat, hari berganti dan semester berakhir. Senyumnya masih di relungku @paradewi_sk, aku terus melihat video itu beberapa hari ini. Mengisi liburan yang telah mulai, aku mulai jarang menulis dan bermain-main bersama para sahabat. Tapi setiap sebelum berangkat tidur, video itu selalu menggoda untuk ditonton. Senyumnya membawaku lelap dalam mimpi yang indah. Dua puluh dua Juni tahun 2016 adalah waktu aku memutuskan untuk mengikuti program voluntir Paradewi. Aku ragu sebenarnya, tapi entah mengapa aku merasa aku harus melakukan ini. Kuikuti pelatihan dan pengarahan, sampai tanggal 13 juli aku dikirim bersama 12 teman lainnya ke beberapa lokasi berbeda. Pada saat itu aku sudah sama sekali tak memikirkan Paradewi, karena otakku dipenuhi hasrat untuk membagikan pendidikan kepada mereka yang pantas dan membutuhkan. Aku sampe di Ntalagewang, salah satu daerah terpencil yang harus kami bantu. Aku tersenyum dan sangat bersemangat dengan semua keterbatasan ini untuk membantu yang membutuhkan. Pada detik itu aku sadar bahwa waktu untuk hanya mengkritik Indonesia yang tak membahagiakan itu sudah berakhir. Saatnya melakukan sesuatu, membuatnya tersenyum, dengan kebahagiaan yang bisa aku buat dengan caraku. Aku berdoa sejenak saat menapakkan langkah pertamaku, memohon bantuanNya agar aku bisa membagi cintaNya dengan sebaik-baiknya. Muach,.. tiba-tiba saja satu kecupan mendarat di pipiku, hangat dan sangat familiar bagiku. “Welcome to my jungle” kata Paradewi membuka pertemuan kami. Aku sedikit malu dan kikuk sebenarnya, tapi senyumnya membuatku meleleh dengan sangat mudah. Aku rasa aku punya suplemen tambahan untuk bertahan di sini hahaha. Sambil senyam-senyum sendiri aku mendengarkan semua penjelasannya akan tempat itu dan jobdesk-ku seperti apa di sana.


Jadi sahabat-sahabat sekalian, itu perjalananku menemukan angka Sembilanku, kebahagiaan kehidupan yang bisa aku buat dengan caraku, bukan untuk aku sendiri tapi juga untuk sesama. Ciuman itu adalah pengingat bahwa jangan hanya mengkritik tapi berbuatlah, sedikit atau sederhana tapi tetaplah buat. Indonesia itu sejatinya punya sejuta ciuman kebahagiaan yang ingin dibagikannya, jika kamu berkenan tentunya. Oia jangan lupa membalas ciuman Indonesia karena ia butuh kita juga.