MULTIKULTURALISME INDONESIA RAYA






MULTIKULTURALISME INDONESIA RAYA
Oleh: Didimus Estanto Turuk
Universitas Sanata Dharma
(Dimuat di Majalah Aquinas Edisi II 2016)

Indonesia Raya merupakan seruan pengubar semangat perjuangan para pendiri bangsa. Indonesia Raya adalah suatu kesatuan cita akan mimpi kemerdekaan rakyat terjajah Hindia Belanda. Rasa senasip sepenanggungan sebagai masyarakat jajahan, rasa sakit akan perbudakan yang amat panjang melahirkan kehausan yang kian mendalam akan makna manusia bebas, manusia medeka. Bergerak dalam selimut yang sama sebagai kaum terjajah, manusia Hindia Belanda melompat, mencoba mengambil kembali hakikat bebas yang diambil dari mereka. Dikumpulkan hanya oleh tekad bebas, dikumpulkan hanya dengan tekad merdeka Indonesia Raya tercibta. Saudara-saudara bukan sedarah terlahir. Kekuatan bersama sebagai rakyat yang menderita berkobar, meronta menuntut untuk dipuaskan. Bond Sumatra, bond Java, bond Borneo, bond Bali dan masih banyak lagi masyarakat Hindia Belanda terkumpul demi Indonesia Raya. Semuanya bergotong royong, membangun cita tunggal yaitu Indonesia Raya. Semuanya mengesampingkan tuntutan keinginan pribadinya, kehausan akan rasa merdeka terlalu kuat dibanding kepentingan pribadi. Semua elemen, semua suku, semua agama, semua budaya bersatu dalam kesamaan kehausan akan kemerdekaan. Semuanya bersatu membentuk Indonesia Raya.
Multikultualisme merupakan paham tentang kesetaraaan dalam perbedaan atau kesetaraan dalam keberagaman. Dalam rumusan tersebut terkandung pengertian bahwa multikulturalisme merupakan paham yang mengakui adanya perbedaan atau keberagaman dalam masyarakat, yang antara lain keberagaman budaya. Selain itu, hal yang jauh lebih penting adalah bahwa multikulturalisme merupakan paham bahwa masyarakat yang berbeda budaya atau perbedaan budaya itu memiliki kesetaraan  atau kesederajatan. Kesetaraan yang dimaksud adalah kesetaraan yang dalam penghormatan atau penghargaan yang sama atau saling menghormati agar tercibta perdamaian dalam kehidup bersama. 
Untaian Zambrud melingkar di Khatulistiwa, demikian kata Multatuli menyebut wilayah Hindia Belanda (Furnival, 2009: 1), sebagai suatu wilayah yang yang memiliki bayak pulau dengan kekayaan alam yang sangat besar, di dalamnya tinggal berbagai etnis dan sub etnis. Masing-masing etnis tesebut memiliki budaya, tradisi, kuliner, bahasa, musik, tari dan busana yang berbeda. Sebagian besar dari mereka menganut agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Islam dan lainnya. Menjumpai kenyataan seperti ini,Indonesia adalah Negara yang sangat majemuk. Indonesesia merupakan negara multikulturalis. Sejak dicanangkan, Indonesia telah menjadi  wacana bersama para etnis di wilayah jajahan Hindia Belanda. Sebuah projek politik antar etnis yang berkembang dari keinginan akan kemerdekaan. Hal yangharus digarisbawahi ialah tujuannya satu yaitu mencapai Indonesia Raya. Persatuan dalam perbedaan untuk satu cita, demikian Mohamad Yamin mengatakan perjuangan akan kemerdekaan Indonesia.
Multikulturalisme Indonesia merupakan warisan kolonialisme Belanda. Pengotak-kotakan kelompok masyarakat pada awalnya dibuad Belanda pada awal dekade 1900-an , tepatnya pada tahun 1925 dengan adanya Volkenkaart van Nederlandsh Indie, sebuah peraturn pegklasifikasian penduduk bedasarkan ras dan etnis. Pemerintah kolonial Belanda menetapkan batas-batas daerah etnis serta menunjuk ketua etnis sebagai pemimpin yang mengkoordinasikan masyarataknya kepada para penguasa kolonial. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan para penguasa mengawasi dan mengatur wilayah-wilayah jajahan mereka. Dewasa ini telihat dampak lanjutan dari diberlakukannya peraturan ini. Multikulturalisme yang dulunya membentuk Indonesia, kini menjadi ancaman bagi Indonesia itu sendiri. Pengotak-kotakan masyarakat berdasarkan ras dan etnis mencibtakan primordialisme akan hanya pada suku atau masyarakat tertentu saja. Pada awal pendudukan Belanda, telah terbukti bahwa kecendrungan seperti ini membawa banyak kerugian bagi Indonesia. Adanya catatan tentang politik devide et impera yang berhasil memecah belah Indonesia membuktikan jika primordialisme ke-etnisan bukanlah cara yang tepat untuk menjalankan bangsa.
Multikulturaslisme paham kesetaraan. Multikulturalisme selayaknya merupakan paham kesetaraan dalam keberagaman, seperti yang diterangkan penulis di atas. Namun, kian kemari multikulturalisme menjadi ancaman bagi kelangusngan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia. Begitu banyak konflik yang tercibta atas dasar etnis, agama dan perdedaan-perbedaan lain. Multikulturalisme boleh saja menjadi suatu kekayaan bagi Indonesia, namun ia juga bisa menjadi bom waktu yang sangat rentan dan berbahaya. Menjadi suatu yang berbahaya jika primordialisme ke-etnisan menutupi cita- cita bersama sebagai Indonesia. Kecendrungan ini menjadi masalah yang dihadapi oleh negara majemuk seperti Indonesia. Perbedaan pendapat dan kepentingan masing-masing berbenturan dengan cita-cita bersama. Menjadi berbeda bukanlah masalah karena hal itu telah menjadi bagian dari negara ini, namun yang menjadi masalah ialah pembeda-bedaan dalam masyarakat itu. Multikulturalisme menekankan kesetaraan dalam perbedaam, adanya sikap saling mengakui dan saling menghargai satu sama lain. Semangat ini menjadi landasan besar tercibtanya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Multikulturalisme, bencana ataukah anugerah. Indonesia dengan segala keberagamannya lahir dengans satu tekat merdeka dan dicipta dari kehausanan akan kebebasan yang sama. Kehausan akan kemerdekaan, itu adalah semangat awal berkumpul, bersatu dan meleburnya semua etnis Ibu Pertiwi untuk Indonesia Raya. Kini melihat kenyataan Indonesia dewasa ini, alsan yang sama tidak lagi dapat digunakan. Rasa senasip sepenanggungan sebagai kaum terjajah, penderitaan yangmendalam akan jajahan itu semua telah menjadi alasan yang “basi” bagi para penerus bangsa. Praktisnya, para generasi bumi pertiwi akhir-akhir ini tidak lagi merasakan hal yang sama. Melihat kenyataan tersebut, dapat dikatakan bahwabangsa Indonesia kini tidak lagi memiliki alasan akan persatuannya. Keinginan akan merdeka telah tercapai, persatuan sebagai satu bangsa pun dipimpin oleh hanya beberapa elite politik saja. Pikiran semacam ini mencibtakan kecendrungan untuk menghilangkan cita para pendiri bangsa yaitu Indonesia Raya dan di saat yang sama hanya meguatkan promordialisme ke-etnisan yang mengurangi nasionalisme  bangsa Indonesia. Indonesia yang lahir kemudian ini hampir kehilangan  cita mengapa mereka semua bersatu.
Elusivenya multikulturalisme. Kesetaraan dalam multikulturaslime merupakan suatu yang  elusive (tidak jelas). Kesetaraan dalam perbedaan ini tidak memiliki ukuran pasti yang dapat digunakan sebagai patok acuan. Pedomannya ialah saling mengakui, menghormati dan menghargai satu sama lain. Kesetaraan merupaka suatu kata yang semu dalam permainan politik bangsa ini, karena toh ternyata primordialisme etnis masih sangat kuat. Pada dasarnya itu bukanlah suatu kesalahan karena seorang pribadi dididik lebih intim dalam etnisnya. Seorang pribadi lahir dengan pandangan yang sangat etnikal bukan kebangsaan, jadi adalah wajar jika seseorang memiliki ikatan yang lebih kuat kepada etnisnya lebih dari kepada negaranya. Kenyataan ini menghantar pada suatu pernyataan bahwa sejatinya tidak ada nasionalisme yang betul-betul murni memiliki pandangan kebangsaan tanpa menyimpan kepentingan etnis tertentu. Hal tersebut mengguncang Indonesia, apakah multikulturalisme itu masih relevan atau tidak. Tidak terlepas dari hal tersebut, Indonesia adalah mulikulturalis. Hal ini menjadikan Indonesia tidak dapat terlepas dari kenyataan bahwa dirinya memang banyak, beragam, dan berbeda. Perbedaan menjadi hakikat Indonesia sejak semula, jadi pernyataan akan Indonesia yang multikultural itu masih relevan atau tidak, jawabannya harus relevan.Indonesia telah berbeda sejak semula, itulah Indonesia. Kesetaraan dalam perbedaan memang elusive, namun begitulah cara cara Indonesia memperjuangkan Indonesia Raya. Kembali kepada cara dan patokan para pendahulu yaitu menerima, menghargai dan menghormati satu sama lain.
Ketakutan untuk  menjadi berbeda. Ketakutan untuk menjadi berbeda telah menjadi semacam hegemoni umum yang telah merogoh kehidupan seluruh umat manusia sejak dulu. Keinginan untuk menyeragamkan dan menyelaraskan segala hal dalam satu cetakan menjadi trenpara penguasa dunia. Ketakutan ini sebenarnya yang telah melatarbelakangi perang-perang besar dunia dan penaklukan serta penyerangan di berbagai wilayah dunia, pun Indonesia. Ketakutan ini secara gamblang memecah konsep multikulturalisme, kesetaraan dalam perbedaan. Multikulturalisme menerima perbedaan, menghargai dan menghormatinya sebagai bagian dari kekayaan manusia. Menyetarakan berarti memaksakan konsep tunggal untuk kelompok yang beragam. Hal ini akan memunculkan konflik dan perdebatan dalam masyarakat, bukan hanya karna ada kepentingan masing-masing di sana tetapi lebih karena memang ada perbedaan dalam masyarakat, dan itu harus diterima. Sejatinya multikulturalisme itu tidak akan pernah menjadi satu, tidak akan pernah bisa menjadi seragam namun tetap dapat berjalan bersama dalam perbedaan. Dasar negara Repubik Indonesia, pancasila merupakan cerminan tunggal akan penerimaan, penghargaan dan penghormatan akan perbedaan Indonesia. Mendiang Soekarno menyatakan simpul pusat dari Pancasila ialah Gotong Royong, ‘abaikan perbedaan, mari bersatu untuk Indonesia’. Indonesia telah berbeda sejak awal,namun itu tidaklah menjadi alasan untuk dibeda-bedakan. Para pendahulu menetapkan Bhineka Tunggal Ika sebagai sembohyan NKRI, menunjukan bahwa melalui persatuan dalam perbedaan Indonesia akan menuju Indonsia Raya. Para pendahulu menitipkan perbedaan itu pada generaasi muda Indonesia, menitipkan cita-cita menuju Indonesia Raya.
Negara Kesatuan Republik Indonesia telah beragam sejak semula. Indonesa merupakan persatuan dari berbagai perbedaan kebudayaan manusia Hindia Belanda. Alasan untuk berjuang bersama akan masyarakan terjajah mungkin telah usang dipakai, namun menjadi tugas penting selanjutnya ialah menlanjutkan cita-cita kemerdekaa, menjaga Indonesia Raya. Multikulturalis, itulah Indonesia yang sebenarnya. Indonesia itu beragam, bermacam-macam dan saling melengkapi sebagai satu Indonesia. Berbeda tidaklah menjadi alasan untuk dibeda-bedakan. Para pendahulu telah membuktikan kekuatan dari bergotong royong bersama membangun Indonesia yang satu, membangun kemerdekaan dalam perbedaan. Sikap saling menerima, menghargai dan menghormati merupakan patok kehidupan bersama yang menjadi titik acuan masyarakan Indonesia seharusnya melangkah. Maslaah dan konflik pasti berdatangan sebagai buah dari kekayaan pikiran dan pendapat, namun semuanya harus diselesaikan dalam kerangka kehidupan bersama. Multikulturalisme adalah kekayaan Indonesia bukan sebuah bencana. Indonesia terlahir dalam perbedaan yang mengharuskan semuanya menghargai satu sama lain, menghargai multikulturalisme. Cita-cita kebangsaan  dicibtakan,diusung dan dijaga  bersama dalam rangkaian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan menjadikan Indonesia kuat mengemban cita-cita nasional itu, Indonesia Raya. Menerima, menghargai dan menghormati multikulturalisme, dalam perbedaan membawa Indonesa menunju Indonesia Raya.
                                                                                                                                                                                  

0 komentar:

Posting Komentar