opini multikulturalisme





Skeptisme Budaya pada Nasionalisme
Pengantar
Perbedaan merupakan sebuah kekayaan. Sekiranya demikianlah sepenggal kalimat yang dapat digunakan untuk menggambarkan kebanggaan bangsa terhadap muktikulturalisme yang ada di Indonesia. Perbedaan terkadang membawa manusia ke dalam sebuah paradoks pilihan, terutama dalam kenyataan karakter personalia sebagai sebuah unit terkecil dari sebuah perbedaan.
Tidak dapat dipungkiri, manusia sejatinya hidup dalam sebuah alam nyata yang statis. Pembeda kemudian dibentuk berdasarkan penyesuaian yang hadir atas proses asimilasi manusia terhadap lingkungannya. Lingkungan membentuk sebuah karakter, yang secara nyata dalam interval kesamaan tertentu membentuk cara dan ciri tertentu untuk sesamanya, dan menjadi pembeda untuk mereka yang menyesuaikan terhadap dunianya dengan cara yang berbeda.
Perbendaharaan perbedaan akan karakker lingkungan pun kemudian berkembang sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah kompleksitas akan cara mengamalkan nilai dan budaya yang merupakan buah penyesuaian tadi. Disinilah manusia dihadapkan dengan pilihan akan sinergi dan konflik. Bersinergi berarti pengamlan terhadap perbedaan membuahkan sebuah persamaan akan tujuan yang membawa pada sebuah kata “kekayaan”. Akan tetapi sebaliknya, perbedaan akan menjadi konflik ketika sesamanya dipandang hadir sebagai ancaman yang mungkin akan menghilangkan eksistensinya, atau bahkan hanya sekedar berekspansi terhadap pilihan yang lain dan mengikrarkan diri sebagai perbedaan yang paling benar.
Permasalahan akan kompleksitas akan perbedaan juga mendera Indonesia sebagai sebuah bangsa yang menurut hemat penulis, awalnya hanya berdiri berdasarkan persamaan geografis. Patih Gajah mada dalam ekspansinya memperkenalkan istilah Nusantara yang hanya didasarkan pada kesamaan pulau- pulau (nusa) yang berada diantara dua benua dan dua samudra. Setelahnya, baik melalui pengklasifikasian ilmuwan akan kesamaan rumpun bahasa, sejatinya itu sekedar pemanis rasa akan racikan yang dibubuhkan untuk memperkuat pengelompokkan wilayah ini. Hal tersirat yang hadir melalui analisis penulis adalah dasaran pembentukan negara indonesia berdasarkan kesamaan yang abstrak dan bahkan hampir berbeda. Minimnya karakter kesamaan dalam elemen sosial budaya indonesia secara bersamaan berjalan bersama tuntutan akan integritas bangsa.
Momentum kesatuan hanya menjadi daya kejut sementara pada masa perjuangan kemerdekaan. Dalam psikologi integritas bangsa, hal ini lumrah terjadi karena segenap bangsa memiliki kesamaan rasa akan kebebasan dari derah penindasan. Perasaan serasa sepenanggungan inilah yang memuat potensi toleril antar sesama, bahkan sampai pada toleransi antar budaya dalam ruang lingkup negara, pada masa itu. Akan tetapi, setelah peristiwa kemerdekaan Indonesia telah lama melegenda dalam catatan sejarah negara, apakah euforia pada masa itu masih berada dalam kadar yang sama?
Salah satu nilai jual yang menjadi kebanggaan Negara Indonesia adaah keragaman budaya yang membentang dalam setiap produk kewilayahan budaya bangsa Indonesia.  Segala bentuk ke- khasan daerh mulai dari warisan kuliner tradisional, tarian, nyanyian, sampai pada warisan perspektif dalam bentuk paham keagamaan maupn politik merupakan elemen bentukkan budaya yang kompleks, rumit, tetapi menarik dan mengesankan. Kebdayaan seakan menjadi bentuk “komoditas” baru dalam ruang kewilayahan daerah dan berkontribsi dalam menampilkan cerminan daerahnya.
Budaya yang dimiliki sebuah daerah dapat memberikan gambaran secara umum mengenai keadaan peradaban masyarakatnya di masa lalu. Keadaan masyarakat yang membentuk lingkungan peradaban di masa lalu tentunya memberikan efek tersendiri pada tatanan masyarakat yang ada pada masa sekarang. Sampai di masa sekarang, kekatan budaya memiliki nilai jual yang cukup tinggi dan diperhitungkan. Penyelesaian perkara sebelum menyinggung rana hukum, selalu mempertimbangkan bdaya.
Keberagaman budaya di Indonesia membentuk sebuah kekuatan akan frasa bernama multikulturalisme. Banyak definisi mengenai multikulturalisme, diantaranya multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia -yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan- yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahamani sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam “politics of recognition” (Azyumardi Azra, 2007). Lawrence Blum mengungkapkan bahwa multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain.
Kekuatan Multikulturalisme dalam tubuh Negara Indonesia tentunya harus memiliki daya perekat yang erat dalam menjalin sinergitas antar elemen budaya agar menghaslkan sebuah kekuatan nasional. Apakah Indonesia sudah memiliki kekuatan yang lebih dalam menyatukan keragaman budaya sebagai alasan agar dapat membina kehidupan bernegara bersama.
Mengapa negara gagal?
Kegagalan negara bermula dari pergeseran dalam pemaknaan asas pembentukan negara. Di Indonesia misalnya, kegagalan negara merupakan sebuah keadaan ketika pancasila sebagai dasar filosofis negara dibuat rapuh. Negara tidak mempunyai pendasaran yang kuat terhadap ideologi yang dibangunnya. Di Indonesia, penerapan demokrasi pancasila kerapkali terombang- ambing oleh perang perspektif global. Nilai luhur pancasila pun bertukar tempat dengan liberalisasi demokrasi. Keadaan ini menjadi sangat memprihatinkan ketika demokrasi liberal tidak mampu menganyomi kebutuhan rakyat Indonesia, karena asas tersebut tidak relevan dengan kontur ideologi negara.
Ketika relasi ini terjadi, misalnya melalui politisasi ataupun segala bentuk usaha yang mengedepankan ego pribadi atau kelompoknya sehingga menciderai tujuan negara, maka sebuah negara telah mengalami kegagalan.
Tahun ini Indonesia memasuki usianya yang ke- 70 tahun. Usia ini bukanlah merupakan usia yang muda apabila mengacuh pada tahapan perkembangan hidup manusia. Indonesia memasuki era kematangan peradaban yang berasal dari perolehan legitimasi internasional terhadap kemerdekaan dan kedaulatan bangsa. Dan dari usia yang terbilang tidak lagi mudah ini, sangat baik apabla kita menilik kembali mengapa kita menjadi Indonesia (menuat dasar- dasar pembentukan Negara) dan bagaimana permasalahan nasionalisme mendera Negara dari bawah.
 Wacana persatuan dalam tubuh Negara merupakan buah kecemasan yang lahir dari kekuatan multikulturlisme yang membentuk elemen sosial Negara. Persatuan merupakan instrumen kekuatan yang digunakan oleh Negara dalam memberi legitimasi akan kekayaan budayabangsa serta merupakan rule yang harus ditaati dalam kebersamaan akan keberagaman. Persatuan merupakan perekat yang diciptakan agar Negara memiliki kekuatan sebagai payung dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, termasuk budaya.  Namun perlu disadari, keberagaman sudah lahir jauh sebelum adanya peersatuan dalam Negara Indonesia. Secara ikatan emosional, kekuatan yang dibangun dalam skop budaya lokal menjadi lebih kuat daripada persatuan multikulturalisme. Sederhananya, sekelompok masyarakat akan lebih bangga apabila salah satu pemain TimNas Sepak bola Indonesia berasal dari daerahnya ketimbang kebanggaan terhadap pemain TimNas secara keselurhan. Atau, kita pastinya lebih mendukung kontestan dari daerah kita dalam ajang penjaringan bakat nasional daripada memikirkan siapa yang sebenarnya lebih pantas.
Bhineka Tunggal Ika merupakan rumusan baku yang sejatinya merupakan idealisme  bangsa dalam menggalang persatuan dari perbedaan. Pemetaan terhadap frasa yang menjadi salah satu pilar Negara ini menampilkan sebuah kesenjangan yang cukup signifikan antara kebhinekaan (perbedaan) dan persatuan. Perbedaan yang tertuang dalam rumusan kebhinekaan merupakan sebuah kondisi riil dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia hidup dalam perbedaan yang sangat kompleks dan rumit. Akan tetapi, proyek persatuan yang coba disandingkan dengan perbedaan memiliki nilai tawar yan cukup lemah dan tidak berimbang. Persatuan hanya selalu menjadi retorika dalam perencanaan  pembangunan bangsa ke dalam cita- cita kemerdekaannya.
Kekuatan keberagaman budaya yang tidak dibarengi kekuatan persatuan menjadi sebah kerancuhan ideologi yang perl dikaji secara mendalam. Negara Indonesia perlu mengkaji lebih jauh  agar tidak terkesan mengkebiri ideology dengan kebablasan akan pengamalan multikultural tanpa pertanggungjawaban pada nilai persatuannya.
Keragaman vs penyeragaman
Sistem perpolitikan lokal hampir tidak pernah dibukukan dan dikaji lebih mendalam sebagai pahamakademik lokal. Rakyat Indonesia hanya mempelajarinya sebagai sejarah dan pupus dalam perbandingan ketika disandingkan dengan bdaya politik luar. Ketika paham luar memasuki tatanan perpolitikan Negara, maka ketahanan dan nillai jual perpolitikan lokal menjadi taruhan. Sejauh mana politik lokal mampu mendoktrinasi rakyat di tanahnya sendiri? Ini akan selalu menjadi pertanyaan. Yang jelasnya, praktek one man one vote misalnya lebih mendominasi sistem pengambilan keputusan dalam payung demokrasi ketimbang lonto leok (musyawarah) ala masyarakat manggarai NTT. Salah satu kegagalan menurut hemat penuis adalah kegagalan promosi dan media doktrinasi, sehingga budaya perpolitikan barat tmpil lebih elegan. Parahnya, para akademisi pun mempelajari budaya perpolitikan barat. Masyarakat tak berpendidikan pun manut pada apa yang dikatakan oleh mereka yang berpendidikan, tanpa sadar apabila kita berada dalam posisi sama- sama dikerdilkan dalam doktrin. Apakah budaya politik barat sudah begitu ideal sehingga masyarakat meninggalkan budaya politik lokal? Tanyakan pada oknum DPR yang saling melempar kursi ketika sidang.
Yang ingin dikatakan penulis adalah multikulturalisme khususnya dalam budaya politik lokal yang beragam mengalami penyeragaman oleh buah doktrinasi politik luar, entah melalui proses westernisasi atapun asimilsi tak sempurna di dalam tubuh perpolitikan Indonesia. Kekuatan akan kekayaan multikultutal budaya politik lokal diseragamkan dan disatukan dengan paham asing yang sama sekali tidak sesuai dengan nilai- nilai luhur budaya Indonesia

Multiperspektif Nasional
Apa dampak lanjutan ketika penyeragaman dilakukan tanpa mengedepankan nilai luhur bangsa Indonesia sendiri?Masyarakat Indonesia memiliki cara masing- masing dalam mengamalkan budaya politik asing yang masuk ke dalam sistem perpolitikan Indonesia. Dengan metode pengalamalan yang mendekati kebenaran, wilayah administratiflokal mampu menembus sebuah tatanan pemerintahan yang layak. Namun ketika proses adaptasi terhadap budaya asing ini tidak menemui sasaran, maka muncullah beragam penolakan terhadap konsep nasionalisme.
Rakyat menganggap bahwa  usaha menyeragamkan perspektif persatuan dengan mengganti nilai luhur bangsa  merupakan kesesatan. Tak jarang, fenomena nasional yang berkembang sekarang adalah gerakan ekstra parlemen yang radikal dan di luar sistem. Bahkan lebih ekstrim lagi, rakyat yang jenuh dengan retorika persatuan nasional mencoba mengamalkan paham tersebut dengan caranya sendiri. Dampaknya jelas, kebanggaan terhadap nilai lokalnya yang berlebihan dan menganggap remeh budaya lain, bahkan pemikiran liberal yang menjerumuskan kesimpulan pada usaha separatisme.
Percobaan perlawanan terhadap gagasan persatuan menjadi pekerjaan yang rumit dalam mempertahankan identitas persatuan dan kesatuan. Definisi terhadap nilai nasionalisme memiliki kecendrungan dilokalkan dan diterjemahkan ke dalam nasioalisme kedaerahaan. Secara tersirat, gerakan anti nasionalisme yang dibuktiksn dengan perlawanan memerlukan wadah dan sistem baru agar dapat menganyomi segala kebutuhan dan kepentingan dari berbagai spektrum kebudayaan yang ada.
Perspektif yang berbeda dalam menerjemahkan nilai luhur persatuan melahirkan multiperspektif nasionalisme dalam pengamalan ideologi Negara ini. Negara tenggelam dalam menyusun strategi eksekusi kenegaraan dengan mengabaikan tatanan persatuan yang sebenarnya tidak berfondasi kuat. Nasionalisme terintegrasi ke dalam skop yang lebih kecil, dan kebudayaan memiliki kekuatan dominan untuk memberi ikatan kepadanya.


Menasionalkan Nasionalisme
Kekuatan multikulturalisme yang tetap berdiri pada kekuatannya masing- masing tanpa nllai jual akan integritas kebudayaan menjadi  unsur pelemah dalam mewujudkan nasionalisme bangsa. Kekuatan sentimen egosentrisme seakan menjadi wabah nasional yang sulit dipatahkan. Keadaan ini tentunya menjadi bahan refleksi nasional, sebenarnya dimana letak kesalahan dalam penerapan sistem nasionalisme bangsa? Sejujurnya, kesalahan utama dalam integritas nasionalisme Negara adalah fenomena ketidakpercayaan masyarakat Negara terhadap sistem pemerintahan nasional Negara.
Kecacatan dalam mengadopsi kedaulatan yang menjadi tuntutan masyarakat bangsa membuat masyarakat bangsa kembali menilik kekuatan alternatif yang setidaknya mampu membawa mereka pada kebutuhannya. Kebutuhan akan apa? Ya, seluruh elemen budaya dalam payung Negara Indonesia memliki beragam kebutuhan, berbanding lurus dengan multikulturalisme yang ada. Tujuan nasional merupakan hasil kristalisasi, dan metode penerjemahannya seharusnya lebih dijabarkan dalam ruang lingkup pemetaan kebutuhan.
Perbaikan dalam sistem penyeragaman kebutuhan Negara dalam kristalisasi tujuan nasional merupakan langkah awal yang harus ditempuh dalam memperbaiki sistem tujuan Negara. Negara harus menyadari bahwa keragaman budaya juga berimplikasi pada keragaman kebutuhan. Sistem proporsional yang coba dikembangkan Negara belum mampu menjangkau unsur fundamental dalam tubuh elemen multikultural. Sistem evaluasi kebijakan sangat jarang dilakukan, dilakukan tetapi jarang menyentuh sasaran, menyentuh sasaran namun tidak efisien, efisien namun kurang efektif, dan efektif namun terjebak dalam birokrasi berbelit belit. Padahal, sistem pemerintahan lokal, misalnya masyarakat adat mampu memberikan nilai tawar yang lebih menjual daripada yang dilakukan Negara.
Sistem pemerintahan nasional seharusnya mampu menjadi cerminan bagi masyarakat Negara bahwa sebenarnya nasionalisme yang memuat integritas bangsa secara nasional merupakan daya perekat sekaligus keutamaan dalam keberlangsungan kehidupan Negara. Integritas nasional merupakan unsur lain sebagai alasan kenapa Indonesia bersatu, bukan sekedar pemetaan wilayah geografis yang sama dalam payung nusa antara.
Ironisnya, dalam sistem pemerintahan Indonesia sendiri terdapat kelompok- kelompok kepentingan lain di luar kelompok berbasis kebudayaan. Kelompok kepentingan ini mengendarai Negara yang notabene berbasiskan tujuan nasional untuk mewujudkan ego pribadinya. Disinilah pencideraan sistematis terhadap nasionalisme berlangsung. Para pemimpin bernegosiasi mengatasnamakan masyarakat Negara, akan tetapi kenyataannya hanyalah skenario formalitas semata. Dalam mewujudkan kesatuan antar beragam suku dan budaya, Negara belum mengendarai tujuan yang satu, tetapi tujuan untuk satu
Pemerintahan Negara seharusnya melihat Negara sebagai sebuah subyek yang harus distrategikan untuk mencapai tujuannya. Indonesia terdiri dari beragam bangsa, ras, agama, dan unsur pembeda lainnya yang ingin diperlakukan secara berbeda sesuai kebutuhan akan pembeda tersebut. Konkritnya, tidak semua lapisan masyarakat membutuhkan mall di tengah komoditi lokal yang berlimpah namun kalah dalam persaingan pasar.
Menasionalkan nasionalisme harus berangkat dari kesadaran Negara bahwa multikulturalisme harus dijawab dengan multi solusi. Dengan demikian, peran Negara sebagai organsasi penyatu keberagaman harus mampu menganyomi dan memberikan jalur utama bagi elemen multikultural dan tujuannya. Dengan demkan, jalan alternatif dengan kembali kepada budaya dengan mengikrarkan diri sebagai kesatuan yang lebih urgent dari keberadaan negara dapat dipatahkan dengan nasionalisme sejati. Bukannya mengesampingkan budaya, tapi biarkan budaya dan nasionalisme berjalan beriringan dalam mewujudkan kekuatan nasionalisme dengan komponen multikulturalnya.

0 komentar:

Posting Komentar