MERAIH KEMBALI SEMANGAT MULTIKULTUR
Beberapa
minggu belakangan ini di Yogyakarta banyak
peristiwa menyangkut kehidupan multikultur
yang membuat roda ingatan saya seakan dipaksa memutar kembali ke belakang,
sekitar akhir tahun 80-an. Sebagai
mahasiswa baru salah satu pergurun tinggi seni negeri di kota pelajar ini,
banyak hal baru yang cukup membekas di ruang rasa dan benak. Kala itu hal pertama yang terkesan adalah
semangat membuat sebuah komunitas yang menjamur hampir di seluruh perguruan
tinggi bahkan di lapisan masyarakat yang ada.
Perbincangan di indekosan mahasiswa pun tak lepas dari bisik-bisik; ...bahwa
di perguruan sana sekarang muncul kelompok ini, atau si A dan kelompoknya
sekarang membuat kumpulan diskusi di sana... dan sebagainya. Belum lagi berita
bahwa si C yang pelukis sekaligus penyair itu akan membuat pameran tunggal di
gedung D begitu seterusnya. Lalu saat
malam baru naik di cakrawala, saya bersama beberapa teman seringkali berjalan
kaki dari kontrakan di daerah Jetis menuju Malioboro. Di sepanjang Jl. Mangkubumi hingga Kepatihan
Malioboro, kami bertemu teman-teman
mahasiswa seni yang sedang asik menggambar sketsa malam atau melukis wajah
pesanan turis lokal ataupun manca. Tak sekedar menggores, merekapun bercanda
seakan tak ada jarak batas sekat. Lalu
lintas kala itu masih terasa lengang, seolah ikut merayakan peristiwa-peristiwa
kecil di titik-titik kumpul mereka. Saat malam semakin larut, angkringan di
seputar malioboro justru semakin sesak didatangi para penggemar
tongkrongan. Di kalangan mahasiswa dan
aktivis , salah satu lokasi Malioboro kala itu dijadikan semacam titik favorit
berjumpa yang kemudian terkenal dengan sebutan
poros Bulak
sumur-Malioboro-Gampingan. (Bulaksumur
representasi dari UGM atau intelektual ilmu pengetahuan – science dan Gampingan
representasi dari ASRI/ISI atau kesenian-art).
Di tempat itulah, kita bisa berjumpa dengan para aktivis, budayawan dan pegiat kesenian yang berkumpul bersama
pengamen jalanan bahkan tukang becak dan asongan. Dengan mudahnya mereka berbaur; tak sulit
kita bertemu Butet Kertarajasa, Landung
Simatupang, Cak Nun, Sawung Jabo yang masih muda, Ashadi Siregar (alm) yang mungkin
sedang bercanda nyek-nyekan (saling
ejek) dengan Linus Suryadi(alm), bahkan
seringkali hadir Budayawan senior seperti Umar Kayam (alm), Maestro lukis
Affandi (alm). Suasana bertambah ramai saat hadir tokoh yang disebut Presiden
Malioboro, Umbu Landu Paranggi. Tak perduli dari mana asal mereka, seberapa
miskinnya mereka, apa disiplin ilmunya, siapa orang tuanya, kostum apa yang
mereka kenakan dan sebagainya. Yang tua berbaur
dengan sang muda belia bahkan tak segan mereka maju mempertunjukkan puisi,
lagu atau sekedar ketawa-ketiwi nyengir tersindir hal-hal remeh tanpa
perlu tersinggung. Namun dari situlah ada
suatu nilai yang bisa disebut energi menjaga
rasa. Tanpa perlu memperbincangkan persaingan yang muncul, peristiwa pertemuan budaya tersebut mampu menggerakkan segenap
daya kreatif dalam lingkaran untuk kemudian mendorong luar biasa ke luar
lingkaran yang mewujud dalam semangat kemanusiaan. Rupanya Dialog dan komunitas
itu sanggup mengurai perasaan minder, keterkucilan dan keterasingan budaya. Guliran
situasi seperti itu juga kita jumpai di berbagai tempat tidak hanya urusan
seni, budaya bahkan sosial politik seperti di lakukan organisasi mahasiswa ekstra
kampus seperti PMKRI di Marga siswa,
dengan rekan-rekan Ormas seperti GMKI, GMNI, PMII, HMI dll.
Tulisan-tulisan di media cetak pun tak jauh dari hal ini.
Situasi di
atas dimana arus ledakan teknologi baru
berada di ambang pintu, bisa dibaca sebagai peristiwa pertemuan multikultur
yang sebenarnya. Dimana mereka begitu sadar bahwa mereka beda baik latar
belakang kebiasaan, bahasa, asal, ras atau suku, agama dan lain-lain. Namun
tetap saja mereka bertemu, berafiliasi
satu dengan yang lain. Romo Mangunwijaya pernah mengatakantentang hal
ini; “...bahwa nomor satu
bukanlah masalah agama melainkan religiositas.” Di sini beliau mengingatkan kembali bahwa religiositas
merupakan hal terpenting dibandingkan dengan masalah agama, karena kunci utama
sebuah religiositas adalah beriman. Beriman
tidaklah melulu urusan ritual keagamaan dan segala yang dogmatis. Beriman, lebih
pada mengakui bahwa kita adalah makhluk
Tuhan yang bermartabat dan kemudian mewujud dalam laku ziarah manusia itu.
Komunitas-komunitas yang terbentuk perlu dipahami tidak
ditujukan sebagai sarana mereduksi
eksistensi latar belakang sendiri namun justru menjaga rasa kebanggaan diri
sendiri yang kemudian mendorong mereka lebih membumi dalam kehidupan sosial
mereka. Misalnya, kita bisa menemui seorang tukang becak yang hidup dalam
masyarakat multikultural, beliau akan selalu bangga dengan pekerjaannya dan
menekuninya dengan baik, begitu pula tukang kayu yang setia menekuni profesinya
dan menyatakan dalam laku kesehariannya. Atau seorang mahasiswa ilmu sosial
yang setia berusaha memperdalam ilmunya, sementara si mahasiswa seni pun tekun
mengasah kegelisahan-kegelisahannya dan menyatakannya dalam bentuk karya seni.
Mereka pun tak segan bertemu dan saling berbincang tanpa harus menukar
keilmuannya atau mengalahkan yang lain.
Multikultur tidakk jauh seumpama gado-gado atau salad
yang masing–masing punya rasa namun melebur. Mereka paham dan mengenal apa itu perbedaan-perbedaan.
Mengenal perbedaan inilah yang penting. Maka,
di saat yang sama ketika situasi politik saat itu menuju pada tingkat represi yang
semakin tinggi (yang dilakukan rezim orde baru) dan hendak mengebiri rasa kebersamaan
dan mengabaikan martabat kemanusiaan, ada semacam paduan suara penolakan yang melantun
bersama dalam gejolak di masyarakat. Baik di tingkat perguruan tinggi,
maupunlapisan masyarakat kebanyakan. Tak heran jika situasi represif itu justru
memompa kemunculan gerakan-gerakan sosial kemasyarakatan seperti contoh FKMY
(Forum Komunikasi mahasiswa Yogyakarta) yang digagas saat munculnya kebijakan
NKK/BKK dan kemudian menjadi DMPY dan SMY, Rode. Kemudian muncul pula komunitas Kyai Kanjeng.
Di satu sisi, gerakan formal ekstra kampus pun kembali bergerak dalam ranah
perjuangannya sendiri seperti Kelompok Cipayung (PMKRI, HMI, GMNI, GMKI, PMII
dll). Tak cukup di situ, kita bisa menjumpai kelompok-kelompok studi di
kampus-kampus yang kemudian berjuang lewat gerakan jurnalistik (pers kampus).
Semuanya membaitkan perlawanan terhadap reduksi kebebasan dan hak masyarakat.
Teori sosial ke 3 dari Ricardo L. Garcia (1982) yang
menjelaskan hubungan antar individu dalam masyarakat yang beragam ini
sepertinya sesuai dengan harapan dan perjuangan yang dilakukan masyarakat saat
itu, dimana masyarakat multikulturalisme yakni: ...Individu- individu yang beragam latar belakang agama, etnik, bahasa
dan budaya memiliki hak untuk mengekspresikan identitas budayanya secara demokratis
dengan tidak meminggirkan budaya kelompok minoritas.
MULTIKULTUR DI
YOGYA SAAT INI
Melihat Yogyakarta sekarang seolah segala peristiwa
pertemuan dan perayaan itu hilang tak tercium tak membekas. Yogyakarta kini
adalah kota dengan tingkat kekerasan berdasarkan SARA paling tinggi di Indonesia. Yang terakhir terjadi adalah peristiwa
penyerbuan Camping rohani yang diadakan jemaat Kristen Advent hari ke tujuh
oleh FJI (front Jihad Islamiyah), kemudian pemblokiran Gereja Kristen di Bantul
dan terakhir adalah penolakan FUI (Forum Umat Islam/Ukhuwah Islamiyah) terhadap
Goa Maria Giriwening Kamis lalu (10/7) yang memaksa agar Pemkab Gunung Kidul
tidak memberi ijin terhadap kegiatan umat Katholik di sana. Apa sebenarnya yang
terjadi?
John Naisbitt dan Patricia Aburdene (1990) sebetulnya telah mencoba menyadarkan kita
bahwa akhir abad XX akan terjadi lompatan besar kemajuan tekhnologi yang
mengakibatkan perubahan besar-besaran tata nilai dalam kehidupan. Munculnya
media elektronik seperti TV yang beragam, adanya CD, VCD, DVD serta Hp dan
internet adalah faktor-faktor pendukung akselerasi perubahan nilai kehidupan
masyarakat tersebut. Ruang-ruang diskusi dan pertemuan tergantikan dengan gadget-gadget baru. Masyarakat menjadi
lebih individual sedangkan relasi rasa yang hanya bisa dibangun saat manusia
bertemu dengan manusia lain menjadi hilang. Duniapun seolah menjadi
perkampungan global dimana antar negara tak ada lagi sekat batas kecuali batas
teritorial. Pandangan masyarakat terhadap nilai-nilai kehidupan pun berubah.
Ada kecenderungan, masyarakat dipaksa merubah pola pikir dari tradisional
menjadi modern. Resiko paling besar adalah munculnya kecemburuan sosial dikala penyebaran kemakmuran menjadi tak
berimbang karena kebijakan-kebijakan regulasi pengampu kekuasaan yang terlanjur
begitu lama mementingkan yang kaya. Teknologi pun menjadi tidak netral ketika
dikuasai oleh sekelompok orang saja. Begitupun ideologi kekerasan, pragmatisme,
individual menjadi makanan sehari-hari masyarakat. Kita dibentuk menjadi tidak
kenal satu sama lain bahkan lebih suka berhenti pada kebanggaan diri dan
kelompoknya saja tanpa ada keinginan afiliasi dengan yang berbeda. Masyarakat
menjadi asing dengan dirinya. Di sinilah paham dominasi dan subordinasi
mengemuka baik dikalangan minoritas maupun mayoritas.
MERAIH YANG
TELAH LAMA LEPAS
Beberapa saat lalu telah dialkukan pertemuan antara
Uskup KAS dengan komunitas JNM (Jaringan Nahdliyin Mataram) terkait isu Sabda
Raja Sultan HB X. Salah satu point yang mengemuka adalah keprihatinan bahwa
kita telah kehilangan tokoh dan semangat yang mengobarkan pluralitas dan
multikultur. Semangat pertemuan rasa yang dulu pernah dirayakan bersama telah berganti
dengan semangat proyek bahkan cenderung menonjolkan superioritas keagamaan yang
saling mengalahkan. Kita seringkali menjadi gamang jika harus bertemu
sahabat-sahabat kita yang muslim, atau Hindu dan Budha. Jebakan individualisme berbalut
kecurigaan atau malah minder telah terlanjur kuat mengakar bersama kuatnya arus
teknologi dan modernisasi. Seringkali kita tergagap dengan banyaknya peristiwa
yang mengoyak rasa kebersamaan antar manusia namun tak tahu apa yang yang
dilakukan. Baju kita pun kadang bernoda pekat namun kita tak sadar melihat
karena ada noda itu melekat kuat di bagian belakang baju. Maka hemat saya, harus ada dobrakan kebekuan
sekaligus kemauan untuk mengevaluasi secara etis segala yang telah kita lakukan.
Sesekali kita harus mau mengganti baju dan mencucinya; Jangan-jangan apa yang kita
lakukan selama ini salah arah sehingga semangat kebersamaan dan kasih justru
semakin jauh dari rengkuhan. Baiklah
kita ikut ambil bagian dalam pusaran rajutan tadi. Membangun komunitas bersama
antar kelompok atau individu yang berbeda dengan semangat religiusitas dan lebih
menghormati martabat manusia patut kita perjuangkan bersama.
0 komentar:
Posting Komentar